Agama dan Masyarakat


Pengertian Agama


Pengertian agama menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Kata agama berasal dari Bahasa sansekerta yang berarti tradisi, sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari Bahasa latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti mengikat kembali. Maksudnya dengan religi seseorang mengikat dirinya kepada tuhan. Pengertian agama menurut M. Hasbi Alshiddiqy adalah tuntunan yang melengkapi segala segi dan suatu peruangan untuk memperoleh kekayaan dunia dan kesentosaan akhirat, pengertian agama menurut Emile Durkheim adalah suatu sisten yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.


Pengertian Masyarakat


Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), di mana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.


Fungsi Agama


1. Sebagai sarana pendidikan
Agama dapat berfungsi sebagai sarana terbaik untuk mengajarkan hal hal yang baik yang dapat menguntungkan banyaak pihak sesuai dengan perintah atau larangan yang harus dijalankan dan dipatuhi , agar seseorang bisa menjadi pribadi yang lebih baik daan selalu berada padaa jalan kebenaran dan kebaikan menurut ajaran dan kepercayaan masing masing.

2. Sebagai sarana untuk keselamatan
Agama berfungsi sebagai jalan teebaik bagi penganutnya berhubungan dengan tuhannya agar dapat memohon dan mengharapkan keselamatan dari kejahatan yang terlihat maupun yang tiudak nyata serta keselamatan dari ancaman api neraka akibat dosa dosa dimasa lalu. Seseorang yang memiliki agama maka dirinya memiliki tuhan untuk tempat berdoa, mengeluarkan uneg uneg dan memohon keselatan dunia akhirat. dengan begitu hati bisa terasa lebih tenang dan mendekatkan diri kepada sang pencipta merupakan cara agar hati tenang.

3. Sebagai jembatan perdamian dunia
Karena ajaran agama yang selalu mengutamakan untuk selalu hidup berprilaku baik , saling menghormati dan menyayangi dengan orang yang beragama berbeda dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan dan sebagai alat untuk menuju perdamaian dunia. didunia memiliki tarusan negara dengan ideologi dan agama yang berbeda beda, tetapi  semua negara dilandasi rasa saling menghormati hak asasi manusia , saling menghargai, mengutamakan persamaan derajat tapi tidak saling merugikan satu sama lainnya, menjauhi penghinaan atau penghujatan terhadap orang lain  dan tidak saling merasa benar , maka perdamian dunia akan selalu tercipta hingga akhir jaman.

4. Sebagai alat untuk sosial
Dengan beragama manusia akan lebih peka, lebih cerdas dan lebih tanggap dalam menyikapi dan menghadapi masalah masalah sosial dimasyarakat, misalnya adanya kemiskinan, keadilaan, kesejahteraan rakyat, tentang hak asasi manusia  ataau tentang aktifitas yang berjalan pada jalan kemaksiatan agar segera ditertibkan dan dimusnakan agar prilaku tersebut tidak menodai wilayah sekitarnya dan tidak lagi menjerat prilaku generasi berikutnya kearah yang penuh dosa.
Kepekaan tersebut dapat merangsang dan menyemangati orang orang agar tidak hanya berdiam diri saja menyaksikan hal hal yang tidak baik antara lain tentang ketidakadilan ditengah masyarakat, tentang prilaku menyimpang atau tentang  kezoliman yang berkembang pada sistem kehidupan dimasyarakat. masyarakat yang memiliki agama ( walaupun berbeda beda) maka akan memiliki jiwa yang lebih peka dan cerdas untuk menolak semua peristiwa yang berbau ketidakadilan tersebut.

5. Sebagai jenjang hidup yang baru
Ajaran agama selalu mengajarkan haal hal yang baik dan melaarang manusia untuk berbuat sesuatu yang merugikan orang lain apapun bentuknya. ajaran agama mampu memperbaiki kualitas kehidupan seseorang dalam bergaul dan berinteraksi ditengah masyarakat. bahkan mampu mengubah pribadi seseorang atau kelompok menjadi memiliki jenjang kehidupan yaang baru yaitu kehidupan yang lebih baik dan mencapai spiritualnya masing masing.

6. Sebagai tempat untuk berinteaksi
Pada dasarnya Ajaran kebaikan dan kebenaran ada pada semua agama apapun didunia. agama mengajarkan manusia untuk saling bersosialisasi atau berinteraksi dengan orang lain (agama Lain).  Semua ajaran agama memiliki aturan yang membolehkan segala bentuk usaha yang mempunyai sifat duniawi dan sekaligus agamawi selama usaha yang dilakukan tidak bertentangan dengan ajaran agama dan sesuai dengan norma norma yang ada dalam masyarakat .

7. Sebagai semangat kreatifitas
Ajaran agama untuk memberi semangat kemandirian dan kreatifitas seseorang agar lebih baik dan terarah tanpa disusupi oleh kecurangan atau kejahatan kejahatan yang merugikan orang lain. semangat kreatifitas dapat mengajak seluruh manusia didunia untuk saling bekerja sama dalam berkarya, bekerja daan memanfaatkan keterampilan , minat dan bakat untuk kemajuan bangsa dan negara.

8. Sebagai identitas diri
Agama apapun didunia adalah sebagai identitas seseorang sebagai umat yang beragama dan tidak atheisme (Tidak beragama).  identitas tersebut bisa terdapaa pada kartu tanda penduduk, paspor dan surat surat penting lain. hal itu menunjukkan bahwa kita harus menghormati agama orang lain yang sebenarnya telah diakui sebagai agama yang sah didunia.

9. Agama juga bisa disebut sebagai ajaran teoritis
yaitu yang mengajarkan tentang cara bagaimana berprilaku yang baik yang sesuai norma, moral dan aturan aturan , perintah serta larangan larangan yang berhubungan dengahn etika bermasyarakat. yang bertujuan agar mudah tercipta krukunaan , saling menghormati dan hidup saling berdampingan tanpa mengenal perbedaan agama ataupun tradisi.

10. Agama juga bisa disebut sebagai benteng kekuatan
Yaitu sebagai benteng kekuatan yang tidak mengenal ruang dan waktu karena berperan besar dalam mempengaruhi prilaku dan sikap manusia secara individu ataupun secara sosial, kalimat ini pernah  dinyatakan oleh seorang pakar ahli sosiologi yang bernama Emile Durkhien.

11. Agama juga bisa disebut sebagai kebanggaan
Yaitu memiliki agama berarti memiliki kebangaan karena mempunyai tuhan tempat kita berserah diri, memohon bantuan dan sarana untuk beribadah agar menjadi manusia bisa lebih dekat dengan yang maha kuasa dan menjadi pribadi yang lebih baik.  agama sebagai kebanggaan diri secara pribadi tetapi bukan untuk dipertunjukan dalam bentuk keangkuhan, pamer atau kesombongan. karena keangkuhan hanya akan membuat jarak kita dengan orang lain menjadi menpunyai dinding batas untuk saling berinteraksi. hal ini disebabkan pada dasarnya manusia tidak menyukai seseorang yang pamer dan bangga dengan tujuan untuk menyombongkan diri.


Pelembagaan Agama


Pelembagaan agama adalah suatu tempat atau lembaga untuk membimbing, membina dan mengayomi suatu kaum yang menganut agama.Agama begitu univeersal , permanan (langgeng) , dan mengatur dalam kehidupan sehingga bila tidak memahami agama , akan sukar memahami masyarakat. Hal yang perlu dijawab dalam memahami lembaga agama adalah , apa dan mengapa agama ada , unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur agama. Contohnya adalah MUI. MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah , Syarikat Islam , Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar , GUPPI , PTDI , DMI dan Al Ittihadiyyah , 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah.
Namun ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desa – desa.
Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh.


Agama, Konflik, dan Masyarakat

Secara sosiologis, Masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain. Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak. Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.

Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia. Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.

Daftar Pustaka :
https://nathaniaseptavy.wordpress.com/tag/fungsi-agama/
https://taniakharismaya.wordpress.com/2013/12/01/dimensi-komitmen-agama/
https://fauzanbrs94.wordpress.com/2015/11/24/agama-dan-masyarakat/
https://dalamislam.com/dasar-islam/fungsi-agama
https://paulgurusinga.wordpress.com/2016/01/24/pelembagaan-agama/

Komentar

Postingan Populer